Halaman

Minggu, 04 Maret 2012

Antara Aku dan Kakakku

Hampir setiap hari Devo dan Vira selalu bertengkar, padahal mereka adalah saudara kandung. Masalah sekecil apapun pasti bisa membuat mereka berdua berkelahi. Ayah dan Ibu mereka merasa kewalahan untuk mengatasi permasalahan seperti itu. Devo adalah kakak dari Vira yang merupakan inti masalah dari persoalan perkelahian itu, karena dialah yang pertama kali memulai pertengkaran. Tetapi biasanya Vira selalu mengejek Devo dan karena itulah pertengkaran juga dimulai.

Ketika Jumat malam lalu, kedua anak ini mengobrol bersama dengan Vira yang terus ingin bicara dengan Devo. Namun, perkataan Vira justru membuat emosi Devo menaik. Dan kebetulan sekali mereka sekamar. “Kak, kamu kapan kuliah?” tanya Vira. Devo hanya diam menonton televisi sementara Vira terus bertanya-tanya tentang kuliah dan yang lainnya. “Yee… Aku ngomong nggak dijawab. Yaudah kalau gitu. Riska apa kabarnya, Kak? Cie Kak Devo…” Vira mulai mengolok-olok Devo. “Apa sih, dek! Kamu ini selalu saja mengejek kakak! Sudahlah kamu diam saja, jangan bicara dengan kakak!” emosi Devo mulai menaik. “Iya iya. Gitu aja kok marah…” “Ya kamu dari tadi bicaraaaa terus! Bisa diam tidak sih! Lebih baik kamu menonton TV saja daripada mengganggu kakak terus!” emosi Devo semakin melunjak. “Iya ah! Bawel banget sih!”. Dan akhirnya Vira pun menonton TV bersama Devo.

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Beberapa saat kemudian, Vira mengambil PSP miliknya di ruang tamu karena ia merasa bosan. Setelah mengambilnya, ia membawanya ke kamar untuk dimainkan. Di kamar, Devo sedang menyaksikan acara TV kesukaannya yaitu Opera Van Java (OVJ), sementara Vira sedang asyik memainkan PSP dengan menggunakan headset . Berhubung OVJ merupakan acara yang lucu, Devo terus tertawa terbahak-bahak dengan sangat kencang. Suara TV pun dibesarkan oleh Devo. Vira sudah menggunakan headsetnya dengan suara yang dibesarkan lagi, tapi tetap saja suara Devo terdengar kencang dan sangat mengganggu Vira. “Kak, tolong kecilkan suara TV-nya! Aku tidak bisa mendengar apa-apa dari PSP ini.” Devo mengecilkan suara TV, tapi hanya saat iklan. Ketika acara dimulai, suara TV dibesarkan lagi olehnya dan dia tertawa lagi.

Vira tidak tahan dengan suara Devo yang sangat besar, akhirnya dia keluar menuju ruang tamu dan tidak lagi memainkan PSP, melainkan menonton TV. Di ruang tamu, ada pembantu Vira bernama Wida yang sedang membersihkan lantai, dan tiba-tiba dia berbicara “Dek, kakakmu itu dari tadi keluar-masuk kamar, ke depan, ke belakang, ke kamar mandi. Itu saja yang dikerjakan.” Sahut pembantu itu. “Hmm… biarkan saja. Memang setiap hari hanya melakukan itu, mau diapakan lagi? Kalau kita menegurnya pasti dia akan marah. Dia itu tidak mau dinasehati oleh orang-orang disekitarnya. Setiap kali jika ada orang yang menceramahinya pasti dia tidak menghiraukannya. Ya kita diam sajalah.” Vira berkata panjang lebar. “Nah iya. Sebenarnya kasihan, dek. Dia kurang dewasa.” “Iya. Tapi kalau sampai sikapnya terlalu berlebihan ya kita juga tidak kuat, kan?” “Iya”.

Devo mendengar percakapan mereka berdua. Dia merasa kesal karena dibicarakan oleh Vira dan pembantunya. Tiba-tiba dia berteriak dari kamar,

“Hei, berisik kalian berdua! Bodoh! Bisanya hanya membuat orang marah saja! Kamu sendiri mau tidak dibicarakan seperti itu?! Tidak mau, kan?!”

“Ya sudah sih! Tidak usah berteriak bisa, kan?!” jawab Vira.

“Aaahh berisik kamu! Mau berkelahi kamu?!”

“Ya sudah ayo! Bisanya melawan perempuan! Ayo sini ditengah lapangan!”

Devo keluar dari kamar. Dan dengan jalan cepat dia mendatangi Vira. Ia mengepal tangan kanannya dan diangkat disebelah dagunya.

“Apa?! Hah?! Berani kamu sama kakak?!”

“Berani! Ayo sini pukul kalo bisa!”

Namun, Devo tidak memukul Vira melainkan mengambil PSP yang ada disebelah Vira dan melemparkannya ke perutnya.

“Aduh! Aahhh sakit tahu!”

Tanpa disadari, Vira pun menangis dan Devo kembali ke kamarnya. Pembantunya hanya melihat dan tidak bisa melakukan apa-apa.



Vira menangis kesakitan dan pembantu itu mengelus perut Vira dengan perlahan-lahan. Sampai tiga puluh menit Vira masih menangis tersedu-sedu. Beberapa menit kemudian, orangtua Vira dan Devo datang.

“Dek, kenapa menangis?” tanya sang Ayah.

“Itu… Kak Devo! Aku dilempar PSP.”

“Hah?! Kok bisa? Memangnya ada apa?”

“Tadi kan aku lagi ngobrol sama Mbak Wida tentang Kak Devo. Nah, Kak Devo dengar dan tiba-tiba dia berteriak dan keluar dan aku dilempar PSP.” Vira menjelaskan sambil menangis. Ayah mendatangi Devo dan memarahinya,

“Kak, kamu ini kenapa?! Vira itu adikmu sendiri, kak. Kamu kok kejam sekali dengannya?!”

“Ya awalnya dia yang pertama membuat masalah!”

“Tapi kamu tidak usah sampai melempar PSP juga, kan?!”

Devo terdiam dan Ayah keluar dari kamar Devo.

Di ruang tamu, ibu sedang mengobati dan mengelus perut Vira. Ayah pun datang berjalan ke Vira dan ibu. Ia duduk disamping Vira dan menghela nafas. Kemudian, ayah kembali ke Devo dan berkata “Ya sudah. Kamu berdua salah. Jadi, minta maaf lah.” “Hmm, ya sudah.” Mereka pun keluar dan mendatangi Vira.

“Kakak minta maaf, dek.”

“Tidak… Aku tidak mau! Kamu bukan kakakku! Aku lelah begini terus! Aku tidak kenal dengan kamu!” jawab Vira masih menangis.

Dan ayah berucap, “Ayolah, dek. Maafkan Kak Devo, dia tidak akan berbuat begitu lagi.”

“Hmm, ya sudah. Aku maafkan.”

Pada akhirnya mereka berdua saling memaafkan dan saling berpelukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar